(Esai) Penyendiri yang Mengubah Peradaban
Sahrul orang terkaya dan terpandang di Desa Karangasem, Cilegon. Rumah megah dan mobil mewah dimilikinya. Dia mempunyai banyak kaki-tangan yang siap menurutinya bila diperintah, baik dalam hal kebaikan maupun keburukan. Konon, untuk berdirinya perumahan Serang Permai dia kerahkan para cukong dan calo tanah agar melakukan aksi tipu-muslihat di bawah kendali kekuasaannya. Banyak pihak yang dirugikan tetapi mereka diam seribu basa, bahkan tidak sedikit warga yang dikorbankan tetapi mereka bertekuk-lutut dan takut memperkarakannya di pengadilan. Sampai pada suatu ketika, pemikiran semakin berkembang, kesadaran semakin terbuka, dan hari-hari menjadi bumerang bagi perjalanan hidup Sahrul sendiri.
Tokoh-tokoh semacam Sahrul tak ubahnya seperti orang yang dulunya terjajah tetapi hidup dalam bayang-bayang keterjajahan, lantas bangkit dan bermetamorfosa menjadi “penjajah baru”. Oleh dukunnya, konon Sahrul mengantongi batu kecil dengan ukiran kupu-kupu. Katanya, kupu-kupu itu berasal dari laut, dan apabila dia bermaksud pada suatu hajat dan keinginan, kupu-kupu itu harus selalu berada dalam kantong bajunya ke mana pun ia pergi.
Dalam karya sastra Pramoedya Ananta Toer, selalu saja kita saksikan bagaimana dunia kekuasaan dan kekayaan berkolaborasi dengan mistik yang selalu menjadi anutan masyarakat Nusantara. Misalnya pada novel Calon Arang, Arok Dedes, Mata Pusaran, hingga Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Dalam karya yang terakhir saya sebutkan, berawal dari kunjungan Pramoedya ke daerah Lebak pada akhir tahun 1957. Dia melihat perpaduan alam yang hijau menguning, dengan hamparan bukit dan pegunungan yang indah bergelombang. Namun, rakyat yang hidup di sekitarnya begitu miskin dan terbelakang, tak berdaya, lumpuh daya kerjanya, serta memiliki sikap rendah-diri yang berlebihan.
Lambat laun, bangkitnya kesadaran masyarakat justru dipandu oleh seorang kepala desa, Ranta, yang mengobarkan semangat persatuan dan rasa keadilan, hingga masyarakat menyadari posisi dan keberadaan dirinya yang sebenarnya masih dalam bayang-bayang Max Havelaar seperti tergambar dalam novel Multatuli. Mereka bukannya tak punya harapan, tetapi secara sadar dibodohi dan dihisap, dipaksa hidup dalam ketakutan dan ketegangan yang diagendakan oleh para komprador, penjajah, maupun lintah darat.
Melalui tokoh Ranta, Pramoedya membangkitkan secercah harapan dan rasa percaya diri di tengah masyarakat Banten. Suatu keteguhan sikap untuk bangkit dari rasa takut dan putus asa, suatu ketegaran untuk melawan ketertindasan, kemiskinan dan penghisapan. “Tubuh boleh disekap, ditendang , bahkan diinjak-injak, tapi semangat hidup tidak boleh redup,” demikian Pramoedya mengutip ucapan tokoh Ivan Denisovich dalam karya Alexander Solzhenitsyn (Rusia).
Tokoh Ranta dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan kemudian berujar, “Di mana pun aku selalu mendengar, bahwa yang benar pada akhirnya harus menang.”
“Baik aku percaya, tapi kapan yang benar itu akan menang, Pak Ranta?” tanya Rojali.
Daerah Kunjungan Pramoedya
Banyak yang luput dari pengamatan para akademisi dan sastrawan Banten, bahwa nama Banten termasuk salah satu daerah terpenting yang menjadi sandaran dalam karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Kita semua tahu, satu-satunya penulis Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi nobel itu, dikenal dunia sebagai penulis prolific, periset yang tekun dan dokumentator yang tangguh. Di samping dikenal sebagai penulis yang introvert, dia pun dikenal sebagai “penyendiri” yang berbahaya bagi para pelaku ketidakadilan dan kesewenangan. Dia menjelajahi genre sastra dari zaman ke zaman, pada tempat dan situasi di mana kemajuan teknologi belum sepesat hari ini.
Satu hal yang perlu dicamkan bahwa Pramoedya adalah seorang penjelajah ulung di dunia perbukuan dan dokumentasi. Dia bukan tipikal seniman yang gemar luntang-lantung dari satu daerah ke daerah lain. Karena itu, jikapun pernah mendatangi beberapa daerah di Indonesia (termasuk Banten), dia mesti punya maksud dan tujuan penting untuk sampai ke situ. Bukan seperti penulis traveler yang cuma wara-wiri asal kaki ngeloyor gak puguh. Setiap daerah yang pernah dia kunjungi, mesti menjadi latar dalam alur cerita yang dituangkannya melalui tinta emas. Setelah itu, barulah perpustakaan negara menjadi tujuan utama untuk menemukan sintesis dari kreativitas pada karya-karyanya.
Selain Banten, ada enam daerah lain yang pernah menjadi latar dalam karya sastranya, yakni Blora, Bekasi, Jepara, Rembang, Surabaya dan Jakarta. Dari semua kota itu, Surabaya termasuk daerah yang sering dikunjunginya untuk melakukan riset dan penelitian bagi karya yang kemudian ditulisnya dalam tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Melalui empat novel tersebut, Surabaya dikenal sebagai kota dengan aktor-aktor pergerakan nasional yang mendunia.
Daerah lain yang cukup penting adalah Jepara yang menjadi tumpuan riset bagi penulisan biografi “Panggil Aku Kartini Saja”. Banyak penulis yang luput dari pengamatan bahwa hasil riset Pramoedya untuk penulisan biografi inilah yang mempengaruhi nama “Kartini” sebagai salah satu pahlawan wanita yang berjuang keras dengan mengandalkan pena, tanpa senjata. Secara eksplisit, Pramoedya menandaskan bahwa perjuangan dengan pena dapat mengangkat derajat manusia dari rawa-rawa kebodohan dan keterbelakangan, seperti yang diilustrasikan oleh pernyataan Kartini yang dikutip dari Alquran: Habis Gelap Terbitlah Terang (minadzulumati ilannur).
Peristiwa di Banten
Ketidakadilan dan kesewenangan yang disaksikannya langsung di daerah Banten Selatan, sangat memancing emosi dan menggelorakan jiwa dalam novel Sekali Peristiwa di BantenSelatan. Dialog-dialog yang banal dalam novel tersebut mencerminkan semangat yang menggebu-gebu untuk melawan segala ketertindasan. Tanpa memerlukan bahasa simbolik yang tersirat dalam alunan estetika puisi, Pram mengguratkannya langsung dalam bentuk dialog-dialog yang lantang. Dan untuk melawan ketidakadilan penguasa, maaf, Pram memang ogah menulis sastra dalam bentuk puisi. Ia dikenal sebagai penulis prosa dalam bentuk novel dan cerpen. Ada alasan penting yang pernah disampaikan Pramoedya, bahwa karya sastra dalam bentuk novel maupun cerpen lebih mengandung pesan yang mengenai sasaran banyak pembaca.
Dialog-dialog dalam novel tersebut, khususnya antara tokoh Rojali dengan kepala desa Ranta, lebih mencerminkan keteguhan sikap Pramoedya Ananta Toer. Dalam orasi-orasinya sering dia nyatakan bahwa kebenaran dan keadilan tidak akan jatuh gratis dari langit. Ia harus diperjuangkan oleh pikiran, perasaan, bahkan tenaga kita. Seperti yang tersirat dalam tokoh Sahrul di atas, bahwa segala kesewenangan yang ia lakukan di Desa Karangasem (Cilegon), hanya akan menjadi bom waktu yang bisa mencelakakan dirinya sendiri.