“Jika Mencintaimu adalah Dosa” dan Puisi-puisi lainnya
IRONI INDONESIAKU
Oleh: Hersanditya
Sebuah jelaga usang tanpa bercak
Melebih hitam pekatnya mendung
Sebuah negeri yang kayanya tak layak maju
Ironi negeriku
Pejuang gigih tanpa kekerasan
Meredam lawan tanpa makna
Sebuah pembunuhan karakter
Hingga regulasi tak berperasaan
Distorsi ekonomi kau timbulkan
Pecah belah saja negeri ini
Sampai berebut recehan koin berkarat
Menahan lapar saja tak sanggup wahai koruptor
Rakyatmu kau buat puasa seumur hidup
Dinegeri yang dulunya makmur
Ironi negeriku
SETETES DARAH YANG MENCAIR
Oleh Said Maulana Ibrahim
Waktu sedetik jam
Angan angan mulai buram
Mata bertetesan darah
Saat itu aku mulai merinding
Kusam tak berdaya
Melihat jarum yang meratakan tubuhku
Mereka bagaikan elang pemakan kuman
Laron Laron berserakan di tepi sungai
Akibat ulah-ulah yang tak diduga
Aku mengerang kesakitan
Karena dikejar oleh pemangsa
Aku menangis kehausan
Karena diburu oleh sang predator
Aku tersakiti
Aku seolah mati
Aku bagaikan tulang berulang di makan ulat
Aku seperti mayat
Aku seperti merasakan kematian
Karena pemburu berantai
Sungguh
Aku tidak rela mati demi ini
Walau securah darah yang menetes di atas lantai
Jika Mencintaimu adalah Dosa
Oleh Indah Syamsuddin
Aku mencintaimu juga merindukanmu sejak senja telah berpisah dengan fajar
tatkala kelelawar hitam mulai keluar dari tempat persembunyiannya
Aku mencintaimu sejak Tuhan mulai memperlihatkan aku jalan menuju surganya
Aku juga merindukanmu ketika itu kau meninggalkanku bersama bayanganku disudut bangunan bercorak hijau kehitaman
Aku mencitaimu juga merindukanmu tatkala aku mulai menjadikan Tuhan urutan pertama di hatiku
Tapi tahukah kau?
Aku terlalu takut menatap kristal di wajahmu
Jika mencintaimu adalah dosa
Mungkin aku adalah mahluk Tuhan pertama yang menghuni neraka
Dan jika merindukanmu juga adalah dosa
Lalu harus kusebut apa rasa yang selama ini ada?
Jika mencintaimu dan merindukanmu adalah dosa
Entah itu dosa besar ataupun dosa kecil
Perlukah kututup mata hatiku agar buta?
Kendari, Sulawesi Tenggara
Miskin Di Negeri Sendiri
Oleh: Indah Syamsuddin
Palang – palang tanda larangan parkir
Yang berdiri anggun ditengah hiruk pikuk jalan raya
Tak kau indahkan
Sampah – sampah yang rupa dan baunya
Menyengat hingga ke istana negara tak kau hiraukan
Karena miskin di negeri sendiri
Anak sekolah semakin malas karena dihantui
Oleh sistem yang mengerikan
Semakin bodoh karena dibodohkan
Oleh sistem yang menyesatkan
Dibebani melebihi batas kemampuannya
Bahkan Tuhan melalui ayat – ayatnya
Tak berani membebani hambanya
Kini kau berani menantang Tuhan
Karena miskin di negeri sendiri
Pelacur – pelacurmu
Bersandiwara dibalik kerudungnya
Membuat layu kembang yang mekar di dada dan pahanya
Kau lumat habis seluruhnya lalu dengan mudahnya kau bayar
Dengan apel merah Washington yang membuatnya histeris
Menggema hingga menyelinap masuk ke senayan
Karena miskin di negeri sendiri
Kemiskinan demi kemiskian
Berganti dengan kemiskinan – kemiskinan yang baru
Akibat kabut asap yang masih betah tinggal bersamamu
Menyesakkan dada dan menyempitkan paru – paru
Karena miskin di negeri sendiri
Kau sumbat hidungmu
Kau cuci tanganmu dengan uang
Kau butakan matamu dengan emas dan tembaga
Lalu kau jual seluruhnya setelah kabut asap hilang lalu pergi
Karena kau takut miskin
Maka pelacur – pelacurmu juga kau jual
Hingga ke luar negeri dengan harga murah bahkan
Lebih murah dari harga sebungkus rokok yang kau guankan
Untuk membuat kabut asap
Karena miskin di negeri sendiri
Berhasil mendatangkan kutukan demi kutukan dari Tuhan
Karena miskin di negeri sendiri
Membuat matahari tak mau terbit di pelupuk matamu
Karena miskin di negeri sendiri
Bumi Anoa, Sulawesi Tenggara
Tentang Hubungan
Oleh: Istiyana Dian
Katamu aku ini udara
Karena harus memenuhi setiap pernafasanmu
Demi apa katamu aku ini cahaya? Jika hanya membutakanku
Aku lupa kapan memulai
Aku bahkan tak tahu cara mengakhiri
Diam kau!
Kata-katamu hanya akan menjadi kata-kata
Tidak pernah berubah menjadi sajak berirama
Bunuhlah!
Matikan saja rasamu yang katanya sudah berkerak disatu namaku
Kau tahu lahar panas?
Itukah yang kau tahu
Bahkan aku lebih berjuta-juta kilometer dari merkurius mendekat ke matahari
Benarkah aku ini matahari?
Pakai sepatumu ,
Pulanglah
Jakarta, Oktober 2016