Kumpulan Puisi Fathurridho dan Rizki Ramdani
Kali ini kami mendapatkan dua kiriman puisi dari pembaca pria yang sendu mendayu dan menghibur hati. Sahabat, silahkan menyimak.
SAJAK PERTEMUAN
Karya Rizki Ramdani
Aku tanyakan padamu tentangnya
Tapi jawabanmu
Tanyakan saja pada air danau yang bergelombang!
Gelombang yang menghantarkan pesan ke bibir pantai
Disertai senja yang menggetarkan jiwa
Dalam benakku bertanya
Dengan siapa aku akan menikmati semua itu?
Kaupun berbisik halus di telingaku
Dengan seorang bidadari yang telah disiapkan Tuhan
Oh..tapi nampaknya bidadari itu telah diusir dari surga
Dan menetap di bumi ..
Tapi kuyakin bidadari itu adalah engkau wahai wanita bermata sayup
Kau bilang aku mengincarmu?
Tentu jelas, dengan mata yang sayup dan runcing
Seperti pemburu yang mengincarmu di tengah hutan
Aku juga mengincarmu di tengah keramaian yang bising
Wahai bernata sayup
Sayup seperti lembayungkah?
Ya..sayup seperti lembayung atau merah jingga
Kau pun bertanya, siapakah dia?
Coba kau berkaca pada cermin
Apa matamu sayup seperti merah jingga?
Kalau ya, barangkali secara tersirat
Kaulah wanita bermata sayu itu
——————————————————————————————-
Nama : Muhammad Fathurridho
Tempat tanggal lahir : Mojokerto, 29 desember 1996
Mahasiswa di Universitas Islam Negeri di surabaya
“Terakhir kali”
Aku duduk kembali.
Disela-sela pagi, di terik yang masih sepi.
Tidak ada kata, aku dan sendiri.
Masih saling sapa mata embun yang berkaca,
dari duka kemarin malam yang ada.
Aku duduk kembali.
Ditengah-tengah hilangnya kopi yang sudah enggan berbagi.
Sebab kehilangan bukan untuk bertemu kedukaan.
Kehilangan tentang melapangkan.
Dari ikhlas jemari yang lepas dan enggan memautkan pesan.
Aku duduk kembali.
Kemudian tidur disini.
Enggan kembali lagi.
Aku pamit hilang sepi.
“Tentang ketidaktahuanmu”
Berkaratnya berkutat dalam hati yang pekat.
Menjadi bahan tiap lamunan tanpa sekat.
Adalah,
aku dalam diam sepi keramaian yang gaduh.
Seraut rindu memaksa masuk dan mengetuk.
Mendobrak tiap kemarin yang sudah terkunci.
Beradalah.
Ceceran ingatan yang ingin tak dihadirkan.
Memaksa memenuhi ruang sempit.
Kenapa tetap saja pintuku terpaut tentangmu.
Sedang dindingmu kau lukis dengan wajah itu.
Asing memaksa luka masuk dalam bising.
Tentang dia yang selalu kau iring tanpa sering dia bergeming.
Sedang aku berada menunggumu hingga kembali senja menyising.