“Puisi yang Bertengger dan Menetap” Serta Kumpulan Puisi Lainnya
SAJAK BANGSA TERLUKA
Oleh: Leo Marboen
Anak-anak bangsa berseteru saat mereka berebut kekuasaan
Kita asyik ribut tentang kebenaran yang tiada ujung
Media sosial seolah dunia nyata menyalakan emosi berkepanjangan
Kita gagap membayangkan seperti apa menjadi bangsa
Kita belajar demokrasi dengan makian dan cibiran
Pemilu menjadi ajang berkelahi , kekuasaan membunuh nurani
Politik hanya berarti kursi , segalanya disasarkan materi
Ketika terpilih pemimpin para pendukung seolah menang perang
Politik berhenti soal kalah menang rakyat tak pernah pemenang
Anak-anak muda dan orang tua tersandera kata-kata
Kata-kata Hoax diserap sebagai kebenaran kata
Bangsa dibelah-belah , suku, agama dan ras bukan lagi kekayaan
Orang dewasa menjadi lebih kurang ajar, tak berbahasa beradab
Negeri dipandang hanya di ibu kota
Kita tidak lagi bicara kemiskinan dan kesenjangan
Kita gagal memahami lokalitas, demi loyalitas kekuasaan
Kita gagap akan bangsa sendiri
Berperang degan bangsa sendiri
Sementara bangsa asing ingin menguasai
SATU
Oleh: Ichsan Andika
Kau bilang kau jalang
Kau bilang aku usang
Termakan laparnya biang
Kan dan aku, satu
Terpisah oleh semesta
Kau bilang kau manja
Kau bilang aku raja
Dari segala bising dan hausnya lautan
Kau dan aku, satu
Terbawa oleh ragu
Ichsan A.
26 april 2017
PUISI BERTENGGER DAN MENETAP
Oleh: Prasetyo Aji Laksono
Tolong aku.
Jangan engkau tinggalkan diriku sendiri.
Gelap sepi.
Aku takut tidak bisa menggapaimu lagi.
Bersamamu di antara salju salju.
Bercanda, di malam yang dingin.
Tertawa di bawah gugusan bintang-bintang.
Aku menyayangimu.
Dengan segenap raga dan jiwaku.
Dengan ketulusan.
“Di manakah puisi-puisi itu bertengger dan menetap?”
Di relung hati ini, setiap kata-kata bernapas dan hidup.
“Bukankah setiap manusia mempunyai batasan kata-kata?”
Dan di antara detik kata terakhir di dunia, aku ingin merapal setiap huruf namamu.
Dalam cinta yang kurajut sedemikian rupa menjadi sajak-sajak merah jambu.
Tidakkah kamu sadari bahwa aku selalu melihatmu?
Memerhatikanmu dari jauh.
Dari tempat yang tidak kau sadari.
Dari kesunyian .
Dari setiap dinding-dinding puisi aku menuliskan gerak gerik hati.
Tidak jarang aku menghitung berapa kali kita bertatapan mata.
Lalu aku jumlahkan,
Kau tau, aku mulai melakukan hal-hal yang tidak biasa.
Bukankah ini pertanda bahwa dirimu begitu anggun di mataku?
Tolong aku.
Jangan engkau tinggalkan diriku sendiri.
Dalam gelap nan sepi.
Profil singkat :
Prasetyo Aji Laksono. Kelahiran Jakarta, 7 Mei 1997. Mahasiswa S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia jurusan Antropologi Sosial tahun 2015. Alumni SMAN 39 Jakarta.
Menyelam dunia menulis dan menuangkannya di halaman inspirasi.co/lentera28. Email prasetyoajilaksono97@gmail.com,