RESENSI BUKU – Melirik Puisi-Puisi Luka
Nenden Lilis Aisyah,
Maskumambang buat Ibu: Kumpulan Puisi Dua Bahasa
(Rumput Merah, Bandung, 2016) 117 Halaman + xii
Pada Oktober 2016, sebuah buku antologi puisi karya Nenden Lilis A. diterbitkan. Puisi-puisi karyanya berhasil mengantarkannya ke Jerman untuk turut serta membacakan puisinya dalam acara “The 3rd Schamrock Fetival of Women Poets”. Antologi puisi ini memuat 50 puisi dengan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Inggris. Puisi-puisi karya Nenden tersebut diterjemahkan oleh Ian Campbell, Dadang Sadili, Nikmah Sardjono, dan Harry Aveling.
Buku ini dibuka oleh puisi yang berjudul “Pada Suatu Hari Teduh,” lalu ditutup oleh puisi yang berjudul “Tukang Tenung.” Dua puisi yang dipilih sebagai penutup dan pembuka seperti kutub positif dan kutub negatif. Puisi pembuka mengisahkan kerinduan, sedangkan puisi penutup mengisahkan kengerian. Kemudian, puisi utama yang dijadikan puisi judul antologi ini berjudul “Maskumambang buat Ibu.” Puisi yang mengisahkan tentang seorang Ibu.
Puisi-puisi dalam antologi 50 puisi ini sebagian besar menceritakan kesedihan atau kepiluan. Banyak juga puisi yang berisi tentang perjalanan hidup yang juga disertai kisah sedih. Ada pula beberapa puisi yang menggambarkan perasaan tenang, gelisah, tetapi puisi-puisi tersebut bertemakan religi, di antaranya puisi berjudul “Baiti Zanati” dan “Tafakur Waktu”. Selain itu, ada beberapa puisi yang menceritakan kepulangan, seperti“Kepada Petualang”, “Kepulangan”, “Que Sera Sera”, dan “Untitled”. Namun, di antara puisi-puisi sedih tersebut ada puisi yang bertemakan kisah cinta, seperti “Pada Cerita Sempurna”. Berikut disajikan salah satu puisi menarik yang mengandung kesedihan,tetapi disisi lain mengandung optimisme.
Kisah Sebatang Pohon
sebatang pohon, kerontang tak berdaun
menahan diri di tengah salju
ia mengisi akar, pangkal, tangkai, dan rantingnya
dengan tenaga dingin
tulus menyerap udara beku
ketika tiba kemegahan musim semi
di saat pohon-pohon lain mempertontonkan keelokan
daun dan bunganya, pohon itu tak berubah
tapi ia teguh beridiri
dan orang-orang mengatakan
“itulah pohon yang paling bersemi”
1999
Dalam antologi ini, ada beberapa puisi yang meskipun pendek tetap memiliki kedalaman makna. Puisi-puisi tersebut di antaranya sebagai berikut.
Yang Terusir
kau boleh saja mengusirku dari depan pintu
atau menyuruhku pergi ke jalanan sepi
Tapi aku tak akan terusir
Dari waktu
2005
Kepulangan
seseorang berjalan di bawah hujan
dan hanya diantarkan angin
2005
Sajak Ulang Tahun
Ada lilin dalam batin
Nyalanya dipadamkan tetas air mata
Semoga air mata yang jatuh itu
Menjadi embun di tangkai melati esok pagi
Kepada Petualang
seseorang yang berat untuk pulang
hanya akan menjadi petualang
mana mungkin mencari jalan tuk kembali
tapi seorang pengembara, dengan pengembaraan
para pengelana dalam riwayat kitab suci
akan mengerti makna pulang yang sejati
2005
Dapat kita lihat bahwa dalam ketiga puisi awal tersebut mengandung kisah yang menyedihkan, terutama puisi “Kepulangan”. Namun, dalam puisi “Yang Terusir” dan “Sajak Ulang Tahun” terdapat nilai positif, yakni rasa optimis dan harapan. Kemudian, puisi “Kepada Petualang” mengisahkan dua hal yang mirip dengan dua sudut pandang yang berbeda. Seorang petualang dianggap sebagai orang yang tak ingin pulang sebab ia lebih suka hidup dalam perjalanan bertualangnya. Namun, pengembara meskipun pergi ke mana-mana tanpa tujuanyang jelas, ia akan memilih untuk kembali pulang sebab ia memahami arti pulang yang sesungguhnya. Pulang dalam puisi tersebut dapat bermakna dua, yakni pulang ke tempat kembali atau pulang ke dunia abadi (alam baka).
Setelah membaca seluruh puisi dalam antologi ini, dapat dikatakan bahwa puisi “Maskumambang buat Ibu” adalah puisi yang pas untuk dijadikan puisi utama. Dari puisi ini kita dapat melihat kemampuan penyair dalam menggambarkan sesuatu lewat imaji-imajinya yang menganggumkan. Puisi “Maskumambang buat Ibu” tersebut mengisahkan betapa seorang Ibu mengalami hal-hal yang berat dalam hidupnya. Ibu berjuang demi keluarganya, rela mengorbankan diri, tanpa memikirkan dirinya sendiri. Kondisi Sang Ibu yang memperlihatkan betapa hidupnya berat digambarkan oleh perumpamaan-perumpamaan yang mengiris hati. Bahkan “Aku” dalam puisi tersebut sampai merasa diparut-parut hatinya karena rasa bersalahnya. Berikut kutipan puisinya.
Maskumambang buat Ibu
apakah yang tengah kusepuh dan kuhisap ini
ruas-ruas tebu yang memancarkan manis airnya
atau kasar dan kurus buku-buku jarimu
yang mengeluarkan darah
manis atau amis telah sulit kubedakan
semenjak kusadari sepanjang hidupmu
keringat dan air mata tak henti
mengaliri setiap gurat wajahmu
(yang seperti garis sayatan di daun sirih)
rentang urat kakimu telah serupa akar menjalar
dari pohon-pohon yang kau tanam
bahkan tak kukenali lagi
kerut ataukah kisut lurik terbakar
kulit tanganmu itu
tangan yang setia mengangsur-angsur kayu bakar
demi secerek air teh yang dijerang di atas tungku
(air kasih keemasan yang tertuang dari cerat batinmu
ke cangkir lubuh hati kami)
tangan yang tulus ngakeul nasi di bakul
–melikatkan kehidupan agar masak terolah—
tangan yang tak lelah menumbuhkan benih di ladang
meski angin menderu merontokkan rambutmu yang mayang
di punggung menggelantung matahari
dan di pangkuan membenam bulan
ibu masih harus menyangga beban gunung dan laut
tetapi, bahkan tanah yang diinjak
tak pernah mendengar hempasan keluh
(ibu menyadari semua itu
hatiku bagai diparut
darahnya tak surut-surut)
2012
Dalam puisi-puisi karyanya, penyair menghadirkan puisi-puisi yang sangat menarik. Penggambaran suasananyaterasa hidup. Permainan katanya begitu indah. Imaji-imajinya mampu mengajak pembaca berimajinasi bahkan membuat pembaca tenggelam di dalamnya. Perasaan yang tertuang dalam kata-katanya seolah ditularkan ke benak dan hati pembaca.Ketika sajaknya mengisahkan kerinduan, kesedihan atau kepedihan maka pembaca akan merasakan hal yang sama (luka). Ketika sajaknya mengisahkan tentang perjalanan maka pembaca diajak penyair untuk turut dalam penjelajahan. Hal tersebut akan terasa khususnya ketika membaca beberapa puisinya berlatar tempat asing. Dapat dikatakan bahwa kekuatan puisi-puisinya terletak pada ungkapan-ungkapan yang begitu menggugah. Misalnya, ungkapan-ungkapan dalam puisi “Kerikil” berikut ini.
Kerikil
akhirnya, tinggal kerikil di hatiku
dan rasa linu jari-jari dicongkel kukunya
bertahun mengingatmu, hanya mengundang
kesedihan seseorang menimba air
di sumur kering yang tua
di hening malamderit katrolnya kian terasa
tapi masih juga kakakanmu menggemaung
menepikan angin
lalu lama berhuni di gelap dadaku
memperdengarkan kepuasan seseorang
mengulur dan menarik tali
pada tangan yang tak kau sempatkan meraihnya
ada sereset bambu di ulu tenggorokan
ingin kuteriakkan agar kau dengar
sebelum lebih dalam menggoresi pita suaraku;
membuatnya berdarah
1999
Hal yang menarik, penyair juga banyak menggunakan perumpamaan yang menggunakan benda-benda alam. Sesuatu yang berkaitan dengan alam memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Penyair ketika menuangkan isi pikirannya, ia menyatu dengan alam sekitarnya.Ini menunjukkan bahwa penyair menuliskan puisinya dengan proses yang mendalam.
Melihat bahwa puisi-puisi yang bagus adalah puisi yang bermakna ganda (multitafsir), setiap pembaca yang membaca antologi ini akan dibuat penasaran, bertanya-tanya dan tenggelam dalam teka-teki. Apa yang dipikirkan penyair ketika menuangkan sajak-sajaknya? Apa yang sebenarnya hendak penyair sampaikan? Puisi-puisi dalam antologi ini perlu dibaca secara mendalam bahkan mungkin berulang-ulang untuk dapat menemukan makna yang terpendam di dalamnya. Kedalaman puisi-puisi tersebut tentu didukung oleh perumpamaan yang menganggumkan. Itulah kekuatan puisi-puisi dalam antologi yang berjudul Maskumambang buat Ibu ini. (***Zakiah Nur Fatimah Az’Zahrah).
Profil Peresensi
Nama : Zakiah Nur Fatimah Az’Zahrah
TTL : Bandung, 14 Januari 1996
Jurusan/Prodi : Bahasa dan Sastra Indonesia UPI ‘14
Surel : zakiah_nfaz@yahoo.com